Aku Lastri, usiaku sudah 12 tahun. Aku duduk di kelas satu Sekolah Menengah Pertama, sejak saya Sekolah Dasar perjuangan itupun dimulai.
Jarak dari rumah ke sekolahku jauh sekali, entah berapa kilometer karena aku dan teman-temanku tidak pernah mempermasalahkan berapa jauh jarak kami untuk menimba ilmu. Kami sudah cukup bahagia dapat belajar seperti teman-teman dikota. Demi meraih impian dan cita-cita, kelak aku ingin sekali kuliah di kota dan kembali ke desa untuk mendirikan sekolah agar anak-anak dikampungku tidak kesulitan untuk Sekolah.
Jalanan yang harus kami lalui pun penuh aral, apalagi jika musim penghujan tiba. Kami harus rela melepas sepatu butut kami agar tidak kotor terkena lumpur sawah, “Ya, untuk mencapai kesekolahan aku harus menyusuri galengan sawah dan menyebang sungai terbesar dikampung kami, jembatan diatas sungai sebagai penghubung jalan pun ala kadarnya. Aku dan teman-teman selalu berdoa berulang kali jika akan menyebrangi sungai tersebut.
Tidak jarang kami bertemu dengan ular yang melintang dijalanan, atau air sungai yang tengah meluap karena curah hujan yang tak berkesudahan, terpaksa kami harus menunggu atau bahkan harus bolos sekolah karena tidak ada jalan pintas lain yang dapat kami lalui.
Boro-boro ponsel dan alat-alat canggih lainnya seperti ipad, netbook dan lain sebagainya yang sering dipake teman-temanku dikota sana, alat tulis yang aku bawa saja sangat tidak memadai. Tapi aku tetap bersyukur, aku masih bisa sekolah dan tidak pernah tinggal kelas hingga kelas tujuh.
Gedung Sekolah di kampung kami belum sebanyak dikota. SD, SMP dan SMK sudah ada tapi jaraknya sangat jauh dari kampungku, murid dan tenaga pengajarnya pun masih sedikit, karena banyak orangtua yang merasa sudah cukup menyekolahkan anaknya sampai kelas 6 saja, mereka lebih memilih mengajarkan anak-anaknya untuk bercocok tanam, beternak dan menggarap sawah ladangnya.
Sekolah, adalah perjuangan buatku. Aku selalu bangun tepat saat suara adzan subuh dari surau berkumandang, setelah sholat subuh aku harus membantu ibu didapur, seperti menanak nasi, merebus air minum dan menyiapkan segala keperluan yang akan dibawa sebagai bekal bapak disawah. Membantu ibu mengurus adik-adikku yang berjumlah tiga orang, ibu tidak menggunakan alat kontrasepsi sehingga hampir tiap tahun ibu mengandung, dan sebagai anak tertua sudah menjadi kewajiban buatku untuk membantu ibu, bapak dan adik-adikku.
Setelah selasai membantu ibu, baru aku bisa berangkat sekolah dengan membawa jinjingan yang nantinya akan aku jual disekolahan saat jam istirahat atau sebelum pelajaran dimulai, seperti pisang goreng, ubi goreng, bakwan dan tempe goreng. Lumayan hasil dari penjualan gorengan buatan ibuku bisa untuk tambah-tambah beli buku, alat tulis atau bahkan sepatu yang baru akan dibeli jika sudah benar-benar tidak dapat dijahit atau dilem lagi oleh bapak.
Karena jarak dan bawaanku yang lumayan banyak, hampir setiap hari aku bermandikan keringat sesampai disekolahan, ngos ngosan alias tersengal sengal nafasku jika dari kejauhan aku mendengar lonceng sekolah yang terbuat dari besi sudah dipukul oleh pak Mardi, kepala sekolah yang baik hati. Karena aku harus berlari sekuat tenaga agar cepat sampai dikelas. Teman-teman yang lain juga mengalami hal yang sama seperti aku, bedanya mereka tidak membawa dagangan “gorengan” seperti aku. hehehhehehehe
Sekali lagi aku sangat bersyukur dan terus bersyukur bisa mengenyam pendidikan, apalagi biaya sekolah di kampung sudah mendapat subsidi dari Pemerintah, hanya saja buku-buku paketnya masih sangat kurang sehingga aku harus bergantian dengan teman atau kami hanya bisa membaca dan mempelajarinya saat disekolah saja, agar buku tidak cepat rusak kata bu Imas wali kelasku.
Saat mereka yang bersekolah di kota sudah mendapatkan banyak fasilitas dari orangtua mereka yang tidak jarang membuat mereka enggan belajar dengan sungguh-sungguh, kami disini di bumi bagian Indonesia yang setiap upacara bendera (benderanya pun sama merah putih), kamipun menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Padamu Negeri masih harus berjuang untuk mendapatkan ilmu, tapi aku bangga karena aku adalah aku bukan mereka yang menyia-nyiakan keberuntungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar